Kamis, 29 Januari 2015

LIMA - HARI HARI PERJUANGAN

Tiga hari menjelang pertandingan. Pelatih menjadwalkan dua kali latihan lagi lebih fokus dan sungguh-sungguh. Tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Bahkan setiap harinya, setiap anak belajar bermain bola sendiri di rumah masing-masing. Teman atau lawan bermainnya macam-macam. Kalau Adil jelas bapaknya , pak Lurah, yang walau sibuk namun di sore hari menyempatkan berlatih berebut bola dengan kaki bersama anaknya. Hasan si anak juragan krupuk tentu saja meminta, mungkin juga memaksa, pekerja-pekerja di pabrik bapaknya untuk menjadi lawan mainnya. Sedang si Said harus merengek-rengek meminta abah untuk menjadi lawannya main bola. Tapi apa kata abah? “Eh, Said. Ente kan tau badan abah gemuk begini mana bisa lari sana lari sini, kaya kancil begitu”. Tapi ketika melihat Said berkaca-kaca nyaris menangis. Abah yang lucu itu dengan cerdik segera menghiburnya, “Gini aja deh, tuh kan ada tembok. Tendang aja bolanya ke tembok, ntar kan dia mantul tuh, kemana larinya ente kejar, tendang lagi. Malah lebih bagus Id! Bola kan larinya kemana-mana, ente bisa lebih lincah dari latihan lawan orang.” Jadilah Said berlatih melawan tembok, tak kenal waktu. Sampai uminya berteriak-teriak: “ Saiiid, ya Allaah, maghriiib..!!” Apa kabar manajer kita, Sahrul? Sepertinya dari semua anak-anak yang ada di kampung Margasari tidak ada yang sesibuk Sahrul. Ia harus menyiapkan seragam untuk tim bola yang akan bertanding. Kali ini tidak main-main lagi . Kang Emen tukang sablon langganan tidak lagi dipertimbangkan untuk berpartisipasi. Ini kan laga besar. Sahrul berencana untuk menyablon kaos seragam di tempat tukang sablon spesialis pemilu. Lebih berpengalaman, mungkin juga harganya lebih mahal. Tapi dijamin tidak akan luntur. Apa boleh buat. Pak Karim, guru olah raga yang ditunjuk sebagai bendahara menyatakan bahwa hasil pegumpulan sumbangan dari masing-masing orangtua pemain yang berjumlah enambelas termasuk cadangan, dari para pemilik lapak di pasar Cikidang serta dari pak Lurah dan pak Camat, telah mencukupi untuk keperluan pengadaan seragam dan sepatu bola. Masing-masing pemain mendapatkan dua stel seragam dengan satu pasang sepatu bolanya. Dari hasil urun rembug yang lumayan alot, akhirnya desain kaos yang dibuat Sahrul terpilih untuk dipakai sebagai seragam kesebelasan Margasari. Memang banyak usulan yang diajukan dari para pemuka kampung yang suka bergotong royong itu. Ada yang menginginkan gambar sekolah SDN Margasari disablon di kaos atau ada pula usul agar gambar pemandangan desa Margasari yang permai itu dilukiskan pada seragam bola anak-anak mereka. Tentu saja Sahrul berusaha mempertahankan pendapatnya, karena ia memang salah satu pendiri kesebelasan kebanggaan warga itu. Jadi pastinya berhak untuk ikut memutuskan. Selain memang ia yang paling siap dengan desain yang sudah digambarnya jauh-jauh hari, maka semua orang dengan ikhlas menerima keputusan musyawarah. Walupun masih ada saja yang mengeluh, biasalah itu. O iya, sebenarnya bagaimana desain yang diajukan Sahrul, sehingga menimbulkan pro dan kontra di musyawarah desa waktu itu? Rupanya sang manajer kesebelasan Margasari ini menggambar di kaos oblong berwarna putih. Pada bagian saku kiri atas terdapat logo badak bercula satu berwarna merah, di sebelah kiri nama pemain juga berwarna merah. Bagian belakang nomor punggung diatasnya tertulis Margasari dengan huruf besar, lagi lagi berwarna merah. Jadi hanya ada dua warna, merah dan putih. Alasannya, mengapa merah putih sudah jelas itu warna bendera kita. Jadi menunjukkan rasa nasionalisme. Semua setuju. Tapi kenapa badak? Merah lagi. Dengan tangkas Sahrul berucap,”Badak bercula satu adalah binatang yang hanya ada di Indonesia. Jenis ini sudah sangat langka, jadi harus kita lestarikan. Suaka margasatwa dimana badak ini dilindungi termasuk dalam kecamatan kita. Jadi harus kita tunjukkan bahwa binatang langka yang terkenal di dunia itu ada di wilayah kita, kecamatan kita!” Suara Sahrul terdengar lantang dan bersemangat. Sorak sorai riuh rendah teriakan dukungan untuk Sahrul terutama dari anak-anak sebayanya. Dukungan teman-teman ini lebih penting. Teriakan mereka terdengar lebih keras menenggelamkan suara orang-orang dewasa yang hadir. Pak Lurah hanya tersenyum-senyum. Pak Husin tidak bisa menyembunyikan wajah bangganya menyaksikan kecerdasaan muridnya yang penuh percaya diri berbicara di hadapan banyak orang. Namun, itu belum selesai. Ada lagi pertanyaan, kenapa badaknya merah. Badak itu abu-abu atau coklat atau hitam, entahlah, yang bertanyapun tidak yakin juga tetapi pokoknya tidak mungkin merah. Sahrul menjawab singkat, “ Merah itu berani. Merah itu semangat “. Tepuk tangan bergemuruh di pendopo kelurahan. Sahrul…Sahrul…Sahrul. Namanya di teriakkan sebagai tanda dukungan. Diantara hiruk pikuk itu Sahrul mengenali suara kang Ndang, dia turut mendukungnya. Itulah mengapa pada akhirnya disain Sahrul yang dipilih. Cerita punya cerita, jawaban merah itu berani, merah itu semangat sebenarnya bisa bisanya si Sahrul saja. Kenapa demikian? Sebab alasan sesungguhnya kenapa ada badak berwarna merah, awalnya adalah karena Sahrul dan teman-temannya sangat tergila-gila pada kesebelasan Inggris Manchester United yang dijuluki setan merah. Mereka ingin kesebelasan mereka juga punya julukan yang keren. Tapi bukankah tidak mungkin menggunakan julukan yang sama dengan M.U? Apalagi membawa-bawa setan segala, bisa runyam kejadiannya. Yang jelas Gun Gun anak pak ustad Mansur pasti menolaknya. Buktinya lagi, suatu hari ketika mereka sedang ngobrol tentang sepak terjang M.U. di lapak ibu Tilah, tanpa sengaja Sahrul berteriak, “Hebat..hebat, setan merah memang hebat!”. Dengan membelalak ibunya langsung berteriak, “Huuss..huuss, Sahruuul! apa itu setan-setan!”. Nah, mau dijelaskan? Tapi bagaimana menjelaskannya, pasti susah. Karena ibu Tilah dan juga sebagin besar orang lainnya di kampung mereka tidak mengikuti berita-berita semacam itu. Maka, ya sudahlah. Jadi sebenarnya, warna merah dipakai karena ingin seperti julukan si “em yu” itu. Waktu tinggal dua hari lagi. Ada sekitar empat puluh kecamatan di bawah Kabupaten. Untuk pertandingan ini dibagi menjadi empat bagian utara, selatan, barat dan timur. Masing bagian terdiri dari delapan kecamatan, karena tidak semua ikut berpartisipasi. Margasari termasuk grup barat. Jadi kesebelasan mereka harus bertanding dua kali, artinya menang dua kali untuk bisa masuk ke perempat final. Finalnya akan didakan di ibu kota kabupaten. Tentu semua pejuang-pejuang cilik itu berangan-angan bisa bertanding di hadapan bapak Bupati dan jajarannya. Apalagi yang harus dilakukan, selain berdoa tentu saja, ya hanya berjuang mati-matian. Seperti kata kang Ndang, “tidak ada yang tidak mungkin, semua punya kesempatan sama”. Sekarang semua sudah siap. Latihan dianggap cukup. Semangat tinggi. Perlengkapan tidak ada yang kurang. Artinya tinggal menunggu hari laga itu dijadwalkan. Lalu bagaimana transportasinya. Kecamatan Cihujan tempat pertandingan pertama mereka kan tidak dekat? Disinilah tugas pak Lurah untuk mengkoordinasikannya. Pak Lurah meminta bantuan dari orangtua yang memiliki mobil terutama minibus, maksudnya supaya bisa membawa sekaligus banyak orang. Pak Sukarya ayah Hasan menyanggupinya. Ia memang memiliki beberapa kendaraan untuk keperluan pengiriman krupuk dari pabriknya. Tapi sesuai pesan pak Lurah, tidak boleh menggunakan kendaraan bak terbuka untuk pengangkutan orang karena berbahya. Maka dengan bangga dan ikhlas – sesuai janjinya pada Hasan–ia menyiapkan minibus yang baru dibelinya untuk pengangkutan kesebelasan kebanggaan penduduk kemanapun mereka akan bertanding. Alhamdulillah, pak Lurah sangat bersyukur. Dengan ditambah kendaran jip lamanya dan mobil abah Jamaludin, cukuplah sudah pengangkutan untuk seluruh tim dan perwakilannya. Karena penduduk banyak yang ingin ikut menyaksikan maka mereka akan berangkat naik sepeda motor pribadi. Jadi supoter kesebelasan Margasari cukup banyak untuk menyemangati anak, adik, abang, saudara, tetangga mereka bertanding nanti. Sayangnya, pelatih kita kang Ndang agak kurang sehat mendekati waktu-waktu pertandingan ini. Bahri, kiper kesebelasan yang tenang dan dewasa, tanpa diberi tahu bisa membacanya dari raut wajah kang Nang. Walaupun sang pelatih berusaha kelihatan ceria dan bersemangat di hadapan anak latihnya, namun beberapa kali Bahri memergoki kang Ndang mengerenyit seperti menahan sakit. Tapi Bahri memendamnya sendiri. Tidak mengatakan pada sesiapapun. Ia takut teman-temannya kehilangan semangat. Memang, tanpa setahu anak-anak, beberapa kali dalam bulan ini kang Ndang berobat ke rumah sakit di kabupaten. Hanya pak Zaenal orangtuanya dan pak Lurah yang mengetahuinya. Mereka sengaja menyembunyikannya sesuai permintaan kang Ndang, karena ia tidak ingin mengecewakan para pemain kesebelasan hebat seperti Margasari yang dilatihnya. Sehari sebelum berangkat bertanding, kang Ndang memanggil anak-anak berkumpul di lapangan seperti biasa. Hari itu lengkap, ada kang Surya. Kang Surya adalah teman kang Ndang yang suka rela membantu melatih fisik. Seperti kang Ndang, kang Surya mau bersusah payah demi anak-anak karena kagum akan semangat dan kemauan mereka. Setelah pemanasan sebentar. Pelatih meminta mereka istirahat. Mereka duduk bekeliling. Jadi masing-masing bisa melihat satu sama lain. Kang Ndang memandang satu per satu anak latihnya, wajahnya sumringah tersenyum-senyum. Anak-anak yang penuh semangat itupun jadi turut tersenyum bersamanya. Suasana cair. Pelatih mengacungkan kepalan tangannya keatas dan berteriak, “semangat!!” Terdengar balasan, “semangaaat!!” “ Oke, gimana anak-anak ? Sudah siap untuk pertandingan besok sore?” “ Siaap, kang” jawab anak-anak. “ Ya..ya. Akang sudah tahu betul. Kalian sudah siap semua. Kita istirahat saja tidak perlu latihan. Kita simpan stamina untuk besok sore. Setelah dari sini jangan banyak kegiatan lagi, jangan main main kejar-kejaran sama kerbau di sungai ya. Hemat tenaga kalian. Pulang ke rumah masing-masing, mengerti!” “ Mengerti, kang!” balas pasukan kecil itu. “ Anak-anak, ingat pesan akang ini,” suara pelatih terdengar lagi. Kali ini serius. Entah mengapa Bahri merasa jantungnya beregup kencang. Berdebar-debar. Hatinya merasa tidak enak. Dan tanpa diketahui seorangpun tangan kapten Adil meremas rerumputan dibawah kakinya. “ Bola itu bundar. Apapun bisa terjadi di lapangan. Sering kalian lihat kesebelasan jagoan kalah dari kesebelasan yang tidak diunggulkan. Atau kesebelasan yang sudah tertinggal jauh kerena gawangnya di jebol lawan terus, bisa membalik keadaan akhirnya menjadi juara pertandingan.” Kang Ndang berhenti. Wajahnya berputar memandang anak-anak yang terpekur mendengarkan. Kemudian ia melanjutkan, “ Tapi yang jelas, yang lebih siaplah yang akan meraih juara. Siap secara mental dan siap dengan teknik dan strategi. Kita harus berusaha keras supaya menang. Kalaupun kalah, kalah dengan terhormat Karena sudah berjuang. Satu lagi, fokus. Konsentrasi pada pergerakan dalam permainan. Jangan malaweung , ya Usep!” (malaweung bahasa Sunda: terpecah perhatiannya) Usep teripu-sipu. Anak-anak lainnya tertawa. Mereka ingat kang Ndang suka menegur Usep yang kurang konsentrasi. Ketika ada penjual es lewat atau ada layangan putus maka perhatiannya tertuju kesana, lupa pada permainan sehingga bola yang dioperkan padanya terlepas. Setelah diingatkan terus oleh pelatih, sekarang Usep menjadi bisa menjaga konsentrasinya. “ Kalian harus tetap fokus apapun yang terjadi. Kalaupun akang berhalangan, tidak dapat hadir mendampingi kalian, jangan menjadi alasan kehilangan semangat. Pasti ada kang Surya yang akan menggantikan. Ingatlah, dimanapun kalian bertanding selalu ada akang bersama semangat kalian”. Bahri dan anak-anak lainnya tahu bahwa kang Ndang juga melatih kesebelasan lain di kabupaten. Tapi entah mengapa Bahri merasa sangat sedih.Tanpa disadarinya ternyata kang Ndang memperhatikan dirinya yang terus menunduk melindungi wajahnya. Ia hampir menangis. Sebelum air matanya sempat jatuh, kang Ndang menegurnya, “Hei Bahri, kenapa, masak kiper nangis. Nanti pemain lainnya ikut-ikutan!” Bahri terkejut. Teman-temannya langsung mengeroyoknya untuk melihat air matanya. Bahri berguling-guling sambil menutup mukanya dengan kedua tangannya. Mereka tergelak-gelak. Adil juga ikut mengganggu Bahri. Ia bersyukur tidak ada yang memperhatikannya. Padahal mukanya sudah merah padam, terasa panas, menahan perasaannya. Priiiitt..sang pelatih membunyikan peluitnya. Anak-anak langsung bubar. “Sudah, sudah. Ayo kita pulang. Sebelumnya kita berdoa dulu. Semoga kita berhasil besok”. Mereka berdiri membentuk lingkaran, tangan mereka saling memeluk bahu teman di kanan dan kirinya. Setelah selesai berdoa, satu per satu anak-anak itu mencium tangan kang Ndang dan kang Surya kemudian berpamitan pulang. Kang Ndang memperhatikan anak-anak itu pergi sampai hilang dari pandangannya. Matanya berkaca-kaca. Surya menoleh kemudian ia memeluk bahu sahabatnya sambil mendorongnya perlahan, “ayo Ndang, kita pulang.” BERSAMBUNG …..

Kamis, 18 Desember 2014

BADAK MERAH - Bagian Empat : Dadang Rukmana

Dulu, desa Ciherang juga pernah mempunyai kesebelasan juara yang terdiri dari anak-anak sekolah dasar seperti yang sekarang ada di kampung Margasari. Tapi itu sekitar duapuluh tahun yang lalu, ketika Dadang masih kelas enam SD. Ia salah satu pemainnya, sebagai penyerang. Kesebelasan yang dikapteninya menjadi juara pada pekan olahraga dan seni tingkat SD sampai mencapai tingkat propinsi pada waktu itu. Itulah kesempatan yang membukanya menjadi pemain profesional. Dadang Rukmana, begitu namanya. Pak Zaenal, ayahnya, mempunyai usaha kerajinan sepatu dan mereka membuka toko kecil di depan rumah untuk menjual produksi sepatunya. Dadang adalah anak laki-laki pertama bagi keluarga Zaenal, adik perempuannya dua orang. Maka layak apabila bagi orangtuanya Dadang merupakan tumpuan masa depan keluarga. Ayah Dadang sangat berharap ia bisa melanjutkan usaha turun temurun ini, jangan sampai terhenti atau mati tergerus waktu. Dadang memahami betul kehendak orang tuanya, karena usaha sepatu itu satu-satunya yang ada di daerahnya, yang dibuat nyaris tanpa mesin, hanya dengan ketrampilan tangan dan kesungguhan hati. Dadang telah terbiasa melihat ayah dan dua pegawainya bekerja, ia sudah hafal betul proses demi proses yang harus dilalui untuk menghasilkan sepatu yang mutunya baik. Walau demikian tugasnya bukan membuat sepatu, tetapi mengantarkan pesanan sepatu kepada pelanggan mereka. Rumah Dadang kecil ada disebuah gang yang oleh penduduk setempat disebut Gang Penurunan. Penurunan, karena jalannya menurun sehingga pemukiman disekitarnya berada diatas dan ada yang dibawah, bahkan di lembah. Karena rumahya dibawah, untuk menuju sekolah. Dadang harus berjalan menanjak. Tetapi Dadang tidak pernah berjalan, ia selalu berlari. Begitu juga apabila harus mengantarkan pesanan sepatu pelanggan ayahnya, ia akan berlarian menanjak dan menuruni jalanan. Tanpa ia sadari ia melatih otot kakinya setiap hari. Maka tidak heran apabila beberapa kali ia berhasil menjuarai lomba lari dikampungnya. Dadang bersekolah si SD Sidareja. Sekolahnya sedang mempersiapkan tim olahraga untuk menghadapi Porseni tingkat SD. Dadang yang jago lari, tentulah ia ikut lomba lari. Tim sepak bolapun siap sudah. Hampir setiap hari Dadang dan kawan-kawannya berlatih. Lima hari menjelang pertandingan pertama melawan sekolah lain, Rahmat pemain penyerang tim sepak bola SD Sidareja mengalami cidera di kakinya. Semua sudah diusahakan untuk penyembuhannya. Sampai ketukang urut paling terkenal di Ciherang, tetapi kakinya makin membengkak saja. Maka mau tidak mau, sekolah harus mencari pengganti. Bagi mereka sepak bola terlalu berharga untuk ditinggalkan, lebih bergengsi untuk diperjuangkan. Sampai suatu sore dua hari sebelum pertandingan dimulai, pak guru Soleh bertandang ke rumah pak Zaenal. " Begini pak Zaenal " pak Soleh membuka maksud kedatangannya, setelah mengobrol kesana kemari. " Rahmat. salah satu penyerang tim sepak bola kami, tidak dapat diharapkan lagi untuk bisa memperkuat tim karena cedera kakinya belum juga membaik. Karena itu kami sangat membutuhkan pemain pengganti " " Lalu siapa peggantinya, pak? Bukankah hanya kurang dua hari lagi harus bertanding? " berondong pak Zaenal cemas dan tidak sabar. " Itulah pak " pak Soleh menanggapi dengan sabar. " Kami sudah melakukan rapat dan juga mengamati kemampuan anak-anak, kami memutuskan untuk memilih Dadang sebagai penggantinya " sambungnya. " Dadang …? " pak Zaenal kelihatan bingung sambil telunjuknya menunjuk anaknya yang sedari tadi berdiam diri duduk disampingnya.. " Ya pak. Masalahnya sekarang Dadang juga pelari, akan sangat berat baginya untuk mengemban kedua tugas ini sekaligus " timpal pak Soleh " Maksud kedatangan sayapun untuk meminta pertimbangan bapak tentang hal ini mengigat prestasi Dadang sebagai pelaripun sangat membanggakan… " pak Soleh melanjutkan, sambil menarik nafas panjang. Keduanya terdiam beberapa waktu. Ayah dadang tampak terpekur, berpikir serius. Setelah hening, kemudian terdengar suara berat pak Zaenal. " Begini sajalah. Selama ini Dadang sudah cukup banyak menyumbangkan medali dan piala dalam lomba lari. Pertimbangan saya, kalau kali ini harus absen dari arena atletik mungkin tidak terlalu mengecewakan. Karena sepak bola kita juga belum maju, belum pernah juara, sangat perlu diperhatikan. Jadi saya pikir " karena diapun sangat suka sepak bola - sebaiknya Dadang berkonsentrasi sebagai penyerang saja. Kami mendukung " pak Zainal berbicara panjang lebar memutuskan pilihan yang pelik ini dengan bijak. " Bukan begitu Ndang? " tanya pak Zaenal menoleh pada Dadang yang duduk disampingnya, sambil mengelus kepala anaknya itu. “Ndang” adalah panggilan sehari-hari Dadang. " Ya pak, bagaimana baiknya menurut bapak saja " sahut Dadang sambil tersenyum-senyum. " Waaah, terimakasih banyak pak Zaenal dan Dadang atas keikhlasannya. Mudah-mudahan ini akan jadi jalan memajukan sepak bola sekolah dan kampung kita " kata pak Soleh berseri-seri penuh rasa syukur. Begitulah awal mula Dadang menekuni permainan sepak bola sebagai pemain penyerang. Ketika Dadang bergabung dengan tim sekolahnya, mereka berhasil sampai ketingkat propinsi walaupun tidak sebagai juara. Tetapi peringkat kedua tingkat propinsi bukalah prestasi yang biasa-biasa bagi kampung kecil yang sejuk dan sederhana seperti Ciherang, hasil itu merupakan pencapaian yang sangat luar biasa. Luar biasa pula bagi Dadang khususnya. Dalam arena pertandingan di propinsi Jawa Barat selain berhasil membawa timnya masuk final, ia juga medapat penawaran untuk dididik sebagai salah satu pemain tingkat junior nasional. Sungguh membanggakan bagi seluruh warga Ciherang. Tapi bagaimana dengan keluarga Dadang sendiri? Ayahnya, pak Zaenal, sangat bangga tentu saja. Tetapi ia juga sangat sedih. Ia berharap anak laki-laki satu-satunya itu kelak yang akan melanjutkan usaha sepatunya. Sungguh hatinya merasa gundah. Sebagian hatinya ingin anaknya maju dan berhasil, sebagian lainnya risau: bagaimana nasib warisan turun temurun ini? Sebetulnya penghasilan pokok ayah Dadang bukanlah dari usaha sepatu, tetapi dari peternakan itik di lahan berempang di belakang rumahnya. Selain menjual itik anakan, indukan, telurnya dan juga ikan dari empang-empangnya. Tetapi industri rumahan sepatunya lebih dari apapun baginya. Hasil karyanya telah dikenal orang, baik didaerahnya sendiri maupun dikampung lain. Bahkan ada saja pemesan yang datang dari kota meminta dibuatkan sepatu khusus padanya. Orang mengatakan kualitas pengerjaannya sangat bagus, jahitannya sangat halus, karena dikerjakan oleh tangan. Ia sungguh mencintai pekerjaannya, karenanya setiap hasil karyanya apakah sepatu, sandal, selop atau kelom selalu dibuatnya dengan sepenuh hati. Namun ketika ia semakin tua nanti, siapa yang akan melanjutkan bila harapannya pergi jauh darinya? Seperti biasa setelah pulang sekolah, Dadang pergi ke empang memberi makan bebek-bebek dan ikan-ikannya. Setelah itu ia duduk merenung di gubuk kecil diatas empang, sambil sekali-sekali melempar sisa pelet kearah empang, ia melihat masih ada saja ikan yang berebut makanan. Terkadang ia tersenyum-senyum melihat ulah ikan-ikannya. Aah, rupa-rupaya tidak hanya pak Zaenal yang sedang gundah, Dadangpun bimbang hatinya. Apalagi seringkali ia melihat wajah ayahnya yang muram. Benar, ia ingin menjadi pemain bola terkenal, namun bila ya, lalu bagaimana usaha ayahnya nanti? Kedua adiknya perempuan, bukan mereka yang diharapkan oleh ayah. Dadang sendiri masih kecil, umurnya belum cukup duabelas tahun, ia bingung. Tetapi yang pasti, ia tentu akan mengikuti apapun yang nantinya menjadi keputusan ayah yang dicintai dan dihormatinya itu. Ia tidak mau mengecewakan hati orangtuanya. Karena asik melamun, Dadang tidak menyadari ayahnya naik kegubuk. " Ndang .. " suara ayahnya agak parau, masih berdiri memandang kekolam sambil mengelus-elus kepalanya dengan sebelah tangannya. " Pak.. " sahut Ndang , kepalanya menengadah memandang ayahnya. " Hhhhhh " terdengar hembusan nafas panjang ayah. Kemudian duduk disebelah Dadang. " Bapak sudah memutuskan untuk mendukung kemajuan anak laki-laki kebanggaan Bapak, sebagai calon pemain bola besar kelak. Bapak tidak akan membebanimu dengan masa depan usaha sepatu keuarga kita. Konsentrasi saja pada sepak bola, jadilah pemain professional handal " tandas pak Zaenal tegas, tanpa bisa menghilangkan rasa bangganya. Kedua anak beranak itupun berpelukan. Itulah hari yang megukuhkan langkah Dadang sebagai pemain sepakbola ternama. **** Beberapa waktu setelah maghrib masih berkain sarung dan kopiah, sepulang mengaji, tiga sekawan Sahrul, Adil dan Gun Gun serta Iwan loper koran sahabat Sahrul, mampir kerumah pak Zaenal. Sesuai dengan rencana mereka siang tadi akan menemui kang Ndang. " Assalamualaikuuuum …. " suara keempat anak itu memberi salam, nyaris berteriak. " Waalaikumsalam…. " terdengar balasan suara berat dengan sedikit terbatuk-batuk. Pintu rumah terbuka, rupanya pak Zaenal yang membukakan pintunya. Lelaki tua yang ramah itu seperti terkejut mempersilakan anak-anak itu masuk kerumahnya. " Heeii, kau Gun. Ini semua kan teman-teman tim bolamu? " " Betul Wak " sahut Gun Gun memanggil Uwak pada pak Zaenal. " Ayo masuk.. masuklah.. " " Terimakasih Waak .. " sambut anak-anak bersamaan. Kemudian mencium tangan pak Zaenal. Setelah duduk, Gun Gun membuka pembicaraan. " Wak, kami dengar kang Ndang sekarang pulang ke Ciherang, betul Wak?" berondongnya. " Betul ..betul. Wah cepat sekali kabar berhembus ya, ha ha ha .. " kata pak Zaenal riang. " Ngomong-ngomong kalian ini datang bukannya buat menjenguk bapak yang sudah tua? " sambung pak Zaenal berseloroh. Anak-anak laki-laki itu tertawa-tawa. " Ya juga Wak " Gun Gun dengan tangkas menengahi. " Tapi kami memang ada keperluan juga dengan kang Ndang " " Oh begitu .. " pak Zaenal tersenyum " Aaah, itu dia. Baru kembali dari mesjid " Terdengar suara langkah agak berat mendekat. Kemudian sosok laki-laki tinggi dan tampan berdiri dipintu masuk rumah. " Wah, ada tamu , pak.. " kata laki-laki itu pada pak Zaenal. " Yaa, nah ini kang Ndang, anak-anak .. " jawab pak Zaenal seraya berbicara pada tamu-tamu kecilnya. Kemudian tanpa disuruh keempat anak laki-laki itu menghambur menyalami dan mencium tangan kang Ndang. " Anak-anak ini adalah tim sepakbola yang akam mewakili Ciherang ditingkat kecamatan .. " jelas pak Zaenal pada kang Ndang. " Waah hebat kalian – sambut kang Ndang kelihatan senang. " Eeh, tapi tadi kalian bilang ada keperluan pada kang Ndang, nah bicarakanlah – pak Zaenal seolah melihat keraguan pada anak-anak itu. " Adil, kau bicaralah – tukas Gun Gun. Disambut derai tawa pak Zaenal dan kang Ndang. " Ayolah, kenapa jadi lempar-lemparan – suara kang Ndang terdengar ramah. Adil menoleh kekanan dan kekiri kearah kawan-kawannya, kemudian memdehem beberapa kali. Sementara pak Zaenal dan anaknya tak bisa menahan senyum. Akhirnya keduanya tertawa terkekeh-kekeh. " Ayo Dil, bicaralah. Keburu subuh nih.. – kata kang Ndang berseloroh. Mereka semua tertawa. Suasana menjadi cair. Akhirnya Adil bersuara. " Begini kang, kami kan harus bertanding dua minggu lagi, kami sudah melakukan banyak latihan dan segala sesuatunya rasanya sudah disiapkan oleh pihak sekolah dan oleh manajer kami, Sahrul " " Haaah … - kalian sudah punya menajer? Dimana pak Sahrul sekarang? " kang Ndang memotong terkejut. Meledaklah tawa keempat tamu-tamu kecil itu Dasar anak-anak, mereka terpingkah-pingkal sambil memegangi perut sangat geli, terutama melihat wajah pak Zaenal dan kang Ndang yang kebingungan lucu. " Eh sudah..sudah.. " cetus Gun Gun sadar sedang berhadapan dengan Uwaknya. " Manajer kami bukan pak Sahrul kang, tapi Sahrul. Ini dia " lanjut Adil menepuk bahu Sahrul, setelah dapat menghentikan tawanya. " Ooooo.. ya ya ..ya ya .. " ayah dan anak itu mahfum tapi tetap saja tertawa-tawa. Kemudian kata kang Ndang menoleh pada Adil: " Jadi, bagaimana tadi, Dil ? " " Ya, jadi kami sudah dipersiapkan untuk bertanding, tetapi kami merasa kurang percaya diri , karena kami tidak punya pelatih. Apa yang kami lakukan selama ini .. ya berlatih sendiri. Apakah itu cara yang benar atau kurang tepat kami tidak tahu….. " jelas Adil mengambang. " Jadi pada intinya, kami sangat butuh pelatih. Kami sangat mengharapkan kang Ndang untuk mau membantu melatih kami " tiba-tiba Sahrul bersuara, lugas dan terus terang tetapi sopan. Seperti dikomando. Adil dan teman-temannya yang lain mengangguk-angguk tanda setuju. Pak Zaenal dan kang Ndang berpandang-pandangan. " Oh begitu " balas kang Ndang bijak. " Tentu saja Akang tidak berkeberatan, tetapi adik-adik, Akang sekarang tidak selincah seperti yang dulu " ada nada getir di suara kang Ndang. Tetapi ia segera melanjutkan, " Jangan kuatir, Akang akan membekali kalian dengan teknik dan strategi yang Isya Allah akan mendukung kalian di lapangan nanti " Tanpa bisa dibendung lagi, keempat anak-anak pecinta bola itu bersorak-sorak: " Horee... horeee…horeee…" suaranya riuh memenuhi ruangan tamu pak Zaenal. Bu Zaenal yang muncul membawa nampan berisi minuman dan makanan kecil, terkejut : " Waduuh.. ada kesenangan apa ini .. " " Dasar anak-anak…" ujar pak Zaenal menggeleng-geleng tertawa.. Kang Ndang tersenyum-senyum memandangi anak-anak itu, matanya berkaca-kaca. Ia seolah melihat kegembiraan yang dahulu ia rasakan ketika menjadi tim sepakbola kebanggaan sekolah, seperti mereka. Tak ada yang memperhatikan, kecuali tentu saja, pak Zaenal yang sangat mengerti siapa anaknya. Ia seolah tahu apa yang sedag berkecamuk dibenak anak laki-laki kesayangannya. Ada rasa sakit yang menusuk hati bapak tua itu. Sedangkan wajah-wajah polos ceria dengan mulut-mulut mungil yang menjadi tamu mereka, sibuk mengunyah singkong goreng hangat yang disajikan Bu Zaenal. Hari Minggu, keesokan harinya sesuai janji dengan kang Ndang, pagi-pagi sekali sekitar pukul lima, anak-anak kesebelasan Margasari sudah berkumpul di lapangan kampung dipinggir persawahan. Wajah-wajah mereka tampak ceria, dan bersemangat. Juga penasaran serta tak sabar menanti kedatangan pelatih mereka kang Ndang. Apa yang akan diajarkan beliau? Alangkah bangganya kesebelasan mereka mempunyai pelatih yang termasyur tidak hanya didesa mereka tetapi juga di wilayah lain bahkan mungkin seluruh Indonesia mengenalnya, bukankah dulu ia pemain timnas yang disegani? Tepat pukul setengah enam, kang Ndang muncul dengan sepeda olahraganya. Ia berkaus dan celana panjang olah raga lengkap dengan sepatu bola, topi serta peluit. Waah, wajah anak-anak itu terkesima menatap pelatihnya. Seperti mimpi rasaya. Lihat betapa gagahya ia. Lihat sepatu bolanya, pasti itu pernah dipakainya untuk menciptakan gol-gol yang indah dulu. Berbagai khayal bermunculan dibenak anak-anak itu. Ketika sudah dekat, kang Ndang melompat dari sepedanya dan membiarkan sepedanya tergeletak di rerumputan. " Apa kabar anak-anak " seru kang Ndang ramah. " Baiiik, kang " teriak anak-anak keriangan. " Sudah siap untuk latihan keras hari ini? " kang Ndang berteriak lebih keras. " Siaaap " balas anak-anak itu lebih keras lagi. " Terimakasih atas semangat kalian, akang jadi ikut bersemangat. Mulai hari ini pada setiap latihan kalian harus belajar untuk fokus pada permainan, tunjukkan kemampuan kalian yang terbaik. Akang akan melihat dimana kekurangan dan kelebihan yang ada pada kalian, sehingga nantinya akang bisa mengarahkan agar lebih baik lagi. Paham? " jelas pelatih dengan tegas. - Jelaaas " anak-anak menjawab serempak. - Bagus! " kang Ndang melanjutkan. Kemudian membunyikan peluitnya. - Sekarang luruskan kesamping, kapten sebelah kanan dan mulai berhitung! " - Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, duabelas " suara anak-anak berteriak bersahut-sahutan. - Dua belas orang! Ayo, kita lakukan pemanasan. Ayo..ayo " perintah kang Ndang menyuruh anak-anak untuk bergerak cepat. Dipimpin oleh pelatih barunya, anak-anak Margasari terlihat melakukan olah tubuh, berlari-lari ditempat, melompat-lompat. Mereka kelihatan sangat bersemangat. Setelah itu tampak mereka berlari mengelilingi lapangan. Kang Ndang tidak ikut berlari, ia berjalan mondar mandir dipinggir lapangan sambil memperhatikan anak-anak. Latihan berikutnya, masing-masing anak berusaha memasukkan bola kegawang yang dijaga kang Ndang sendiri. Begitulah mereka berlatih sesuai yang diarahkan oleh pelatihnya. Mereka berlatih dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat seperti tidak pernah kehabisan tenaga, walaupun matahari semakin tinggi dan sinarnya menyengat kulit-kulit mereka. Ketika hari semakin siang, kang Ndang mengumpulkan mereka dan setelah memberi arahan-arahan yang perlu mereka mengakhiri latihan hari itu dengan gembira. Kang Ndang terlihat agak pincang, sekali-kali terlihat mengelus lutut kirinya, kemudian ia pulang dengan menaiki sepedanya. Ia melambai pada anak-anak latihnya yang berjalan bergerombol kembali kerumah masing-masing. BERSAMBUNG

Selasa, 09 Desember 2014

BADAK MERAH - Bagian Tiga: Kapten Kita

Pak Lurah Sudirga sudah dua kali dipilih untuk menjabat sebagai Lurah di kelurahan Margasari, kecamatan Margahayu. Ayah dan kakeknya dulunya juga pengetua kampung seperti dirinya. Tetapi di zaman modern sekarang pak Dirga mendapat kepercayaan warga melalui pemilihan yang jujur dan terbuka. Setelah terpilih, ia juga dapat membuktikan kinerjanya. Dalam periode pertama jabatannya, ia berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan mengembangkan sistem pertanian tumpangsari, sehingga membawa kelurahan Margasari sebagai kelurahan teladan dan ditetapkan menjadi percontohan wajib bagi kelurahan lain untuk meningkatkan hasil taninya. Dalam kurun masa jabatan keduanya, ia menitik beratkan pada kemajuan olahraga daerahnya, ia ingin akan ada atlet-atlet nasional yang dilahirkan oleh kelurahan Margasari yang dipimpinnya. Adil adalah anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Sudirga. Kakak dan adiknya perempuan. Sejak belum bersekolah, Adil sering dibawa oleh ayahnya nonton pertandingan sepak bola, bahkan sampai ke Senayan di Jakarta. Ayahnya adalah pecandu bola, tim favoritnya Persib Bandung. Tidak heran apabila pada akhirnya Adil tergila-gila pada sepak bola juga. Selain tangkas bermain dan mengerti teknis permainannya, Adil juga sangat berbakat menjadi pemimpin seperti ayahnya. Ia adalah motor bagi teman-temannya ketika berada di lapangan. Bisa dikatakan cikal bakal kesebelasan Margasari adalah Adil pembentuknya. Kenapa demikian? Setahun yang lalu di ulang tahunnya, pak Dirga menghadiahi Adil bola lengkap dengan sepatu dan seragam tim kesayangannya. “ Kamu senang Dil “ tanya ayahnya. “ Ya pak, senang sekali “ jawab Adil girang. “ Semoga kelak kamu bisa jadi pemain bola nasional, ya “ kata ayahnya lagi sambil menepuk-nepuk pipinya. “ Ya pak, Adil mau “ harap Adil. Seragam bola itu menyemangati Adil untuk membentuk kesebelasan. Ia mulai berpikir untuk mengajak teman-teman sepermainannya yang juga senang bola bergabung dalam kesebelasan. “ Ri, bagaimana pendapatmu kalau kita bentuk kesebelasan “ tanya Adil pada Bahri ketika mereka beristirahat sehabis bemain bola. “ Ide bagus, Dil. Aku setuju itu “ balas Bahri. “ Pemainnya kita pilih saja dari anak-anak yang sering main disini kalau sore “ kata Adil lagi. “ Tapi kalau ada kesebelasan kita harus rajin cari lawan, Dil. Supaya maju – ujar Bahri. “ Benar. Eh itu Sahrul, Ruul “ teriak Adil. “ Heii “ sapa Sahrul mendekat. “ Dari mana kau, bajumu penuh lumpur, main bola sama kerbau? “ ledek Adil. Ketiga anak itu tertawa-tawa. “ Aku dari dusun sebelah tempat saudara sepupuku, main bola disawah becek… he he, seru juga “ kata Sahrul. Dusun sebelah yang dimaksud Sahrul adalah dusun Turi yang masih dibawah kelurahan Margasari, dimana ibu Sahrul berasal. Kelurahan Margasari membawahi beberapa dusun. Jaraknya tidak terlalu jauh tetapi kalau berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar dua jam, sedangkan dengan kendaran bermotor bisa ditempuh dalam lima belas menit. “ Naik apa kamu tadi Rul? “ tanya Bahri. “ Berangkatnya naik ojek pamanku, pulang aku ikut mobil sayur pak Abduh “ jawab Sahrul ringan. “ Bagaimana mainnya anak-anak disana Rul, jago-jago ya? “ tanya Adil. “ Lumayan, mereka tangkas, mereka biasa bermain ditempat becek. Jadi ketika dilapangan kering, lincah “ jelas Sahrul. “ Benar juga. Kita bisa meniru cara mereka berlatih “ kata Bahri. “ Begini Rul, tadi akau bicara pada Bahri tentang ide untuk membentuk kesebelasan “ ujar Adil ketika melihat Sahrul kelihatan agak bingung dengan tanggapan Bahri. “ Kesebelasan? Sekolah si Iwan di Madrasah juga punya kebelasan “ jawab Sahrul antusias. “ Jadi bagaimana menurutmu Rul? “ tanya Adil dan Bahri. “ Menurut aku itu ide yang bagus. Tapi pemainnya sebaiknya anak satu sekolah kita saja “ jawanb Sahrul. “ Kenapa Rul, aku tadi berpikir kita kumpulkan saja anak-anak yang biasa main sama kita. Dari sekolah atau dusun mana saja boleh “ tanggap Adil. “ Kegiatan sekolah mereka seringkali tidak sama dengan kita, kadang-kadang ada yang jadual masuk sekolah siang. Nanti sulit untuk latihan bersama. Apalagi dari dusun lain, Dil “ jawab Sahrul cerdas. “ Kau begini bagaimana, waktu jam istirahat anak-anak kan sering main bola di halaman sekolah. Ada yang kelas tiga, empat ya semua deh ada. Nah, kita lihat permainan mereka, terus kita pilih deh. Kalau mereka mau kita bikin kesebelasan “ timpal Bahri panjang lebar. “ Setuju..setuju “ jawab Adil. “ Kita bisa coba besok ketika istirahat “ kata Sahrul. “ Ya betul. Sesegera mungkin kita bisa punya kesebelasan sendiri “ jawan Adil dengan bersemangat. Begitulah kesebelasan Margasari terbentuk. Nama Margasari sebenarnya tidak mewakili kelurahan mereka, tetapi nama sekolah mereka SDN Margasari. Setelah kesebelasan itu terbentuk, Adil ditunjuk sebagai kapten. Adil disegani oleh kawan-kawannya, bukan hanya karena ia anak Lurah, tetapi karena ia punya wibawa. Selain itu ia yang paling piawai bermain bola, ia juga mengerti strategi permainan dibanding yang lain kerena sering diajari oleh ayahnya, kemudian ia mengajari tim-nya. Posisinya di kesebelasan Margasari adalah penyerang. Dalam setahun setelah terbentuk, kesebelasan yang dikapteni Adil telah bertanding dengan berbagai kesebelasan sekolah atau dusun-dusun di kelurahan itu. Terakhir pada perayan hari kemerdekaan yang lalu kesebelasannya menang sebagai juara tingkat kelurahan memperebutkan trofi Lurah Margasari. Sejak itu pula kesebelasannya menjadi populer. Setelah ashar sesuai janji, anggota tim sudah berkumpul dilapangan bola. Mereka belum mulai berlatih karena menunggu Sahrul yang terlambat dan Bahri yang membantu ayahnya memperbaiki kandang kambing mereka yang rusak. “ Waduh, kalau mereka terlambat terlalu lama kita tidak bisa latihan hari ini. Keburu maghrib “ keluh Adil kecewa. “ Tuuh, mereka datang “ seru Anwar sambil menunjuk Bahri dan Sahrul yang berlarian kearah mereka. “ Maaf .... aduuh ... “Bahri dan Sahrul terengah-engah menjatuhkan badannya kerumput. “ Ya sudah, istirahatlah dulu “ kata Adil sambil duduk didekat kedua anak yang sedang berbaring di rerumputan. “ Dari mana kau Rul? “ tanya Said. “ Aku cape sekali, kesana kemari “ jawab Sahrul sambil bangun. “ Kau sudah ketempat pak Karim? – tanya Adil kemudian. “ Ya aku sudah bertemu dengan pak Karim, untuk keperluan pemain cadangan kita “ jawab Sahrul. “ Bagaimana menurut beliau Rul? “ tanya Hasan ingin tahu. “ Dia yang akan menangani masalah itu. Kita diminta konsentrasi latihan saja. Pak Husin sudah memberi perintah langsung kepadanya “papar Sahrul. “ Baguslah kalau begitu “ sela Adil lega. “ Ada lagi yang ingin aku bicarakan denga kalian semua, terutama engkau Dil “ kata Sahrul lagi. Semua anak terdiam. Mereka memperhatikan wajah Sahrul. Mereka sudah terbiasa denga sikap Sahrul yang seperti itu apabila ada hal serius yang ingin dibicarakannya. “ Jadi apa Rul “ ujar Said tidak sabar melihat Sahrul tidak juga mulai bicara. “ Sabarlah dulu, Id “ potong Hasan yang paling sebal dengan sikap Said yang grusa-grusu. Sahrul tenang saja, dia memperbaiki duduknya dengan bersila. Dengan tangannya ia memberi tanda supaya kawan-kawannya duduk melingkar. “ Aku rasa kita membutuhkan pelatih “ katanya sambil memandang Adil “ Ya benar Rul. Sangat membutuhkan “ jawab Adil. “ Ada seorang pelatih bola, dulunya ia pemain profesional. Dia orang kampung kita, namanya kang Ndang. Ada yang kenal? “ Sahrul bersuara. “ Ya.. ya aku tahu “ beberapa anak menjawab. “ Aku belum kenal, tapi katanya sih istrinya masih saudara jauh ibuku “ cetus Gun-gun. “ Aku punya rencana berkunjung kerumahnya malam ini dengan temanku Iwan dan kau Dil, karena kau yang paling tahu kekuatan tim kita “ sambung Sahrul. “ Tentu aku akan ikut. Untuk pertandingan besar seperti ini terlalu berat bagiku untuk merangkap pemain dan pelatih sekaligus “ jawab Adil serius. “ Kalau begitu kau juga ikut Gun, supaya ada basa basi dalam pertemuan kita nanti. Kalu perlu kau rayu dia........ha..ha “ sambung Adil tertawa diikuti gelak teman-temannya yang lain. Kemudian Adil mengambil ranting kering, ia menjelaskan strategi permainan dalam latihan sore ini. Ia mengambarkan posisi masing-masing anak dengan ranting ditanah. Mereka mengajak anak-anak kampung yang sedang bermain bola untuk melawan mereka. “ Kau jadi kiper untuk mereka, Rul. Jangan bikin kita mudah mencetak goal “ Adil memberi instruksi dengan tegas. Sahrul yang ditunjuk mengangguk-angguk. Kemudian Adil berkata lagi: “Ayo kita mulai, nanti kesorean. Mereka sudah menunggu “ Permainan bola sore itu sangat seru, Sahrul jungkir balik mempertahankan gawangnya. Selain ia harus menunjukkan kesungguhannya memenangkan tim yang dibelanya, ia juga harus meguji kekuatan dan keuletan tim Margasari. Pertandingan diakhiri dengan skor 3 – 1 untuk kemenangan Adil dan kawan-kawannya. Selesai bertanding, karena kecapaian mereka bergelimpangan diatas rumput sambil mengatur nafas “ Waah, hebat kau Rul “ ujar Adil menepuk-nepuk bahu Sahrul. “ Aku sampai jengkel tadi sama kau Rul, aku kira kau benar-benar kiper mereka “ sambung Hasan cengengesan. “ Yaa, kalau aku tidak bersungguh-sungguh, apa yang kalian dapat “ balas Sahrul menggurui. “ Aku puas uji coba hari ini “ kata Adil lagi,serius. “ Sahrul benar-benar bersemangat dan kalian harus ingat keuletan lawanlah yang akan memacu kita untuk berjuang lebih keras lagi “ Anak-anak calon juara itu mengangguk-angguk tanda membenarkan. “ Hayo, bangun bangun sebentar lagi Maghrib, kita harus pulang “ Gun Gun mengingatkan. Ketika mereka sedang bersiap- siap untuk pulang. Rombongan anak-anak lawan mereka tadi menghampiri mereka. “ Rul … “ Ujang, salah satu dari mereka memanggil Sahrul. “ Ya “ jawab Sahrul acuh tak acuh sambil mengibas-ngibas celananya membersihkan dari rerumputan. “ Begini, kami tadi sudah berunding, kami minta kau mau jadi kiper di kesebelasan kami “ Ujang kembali menjelaskan dengan raut muka berharap. Sahrul dan kawan-kawannya saling berpandang-pandangan. Tanpa tahu siapa yang memulai, akhirnya meledaklah tawa mereka, terpingkal-pingkal. Melihat bekas lawan mereka tertawa terbahak-bahak, anak-anak itu bengong, tetapi kemudian tertular juga ikut tergelak-gelak. Bahri menepuk bahu Ujang perlahan dan merangkulnya - dengan isyarat tangannya ia mengajaknya semua sahabat barunya pulang bersama. BERSAMBUNG

Sabtu, 06 Desember 2014

BADAK MERAH - Bagian Dua: Sang Manajer

Pagi-pagi sekali, setelah subuh Bu Tilah telah bersiap-siap hendak berangkat berdagang di pasar Cikidang. Ibu Sahrul sudah janda sejak dua tahun yang lalu. Ayah Sahrul dulunya pedagang cabe merah di pasar, sekarang sejak ayahnya tiada wanita yang lembut tetapi tegar itulah yang melanjutkan usaha sebagai mata pencaharian keluarga itu. Walaupun tidak besar, rumah bu Tilah dan keluarganya kelihatan bersih dan terawat. Dalam keluarga itu tinggal Sahrul dan ibunya, nenek dan adik bu Tilah: Asep. Asep duduk di kelas dua sekolah kejuruan teknik, dialah yang membantu ibu Sahrul mengurus dagangannya karena ia bersekolah di siang hari. “ Rul, ayo bangun nanti subuhnya habis. Ayo nak, tidak baik mengakhirkan shalat “ bu Tilah mengoyang-goyangkan tubuh Sahrul yang masih berselimut. “ Yaa, bu “ jawab Sahrul masih dalam kantuknya “ Ayo bangun “ lanjut ibunya sambil membantu Sahrul bangkit dari tempat tidurnya. “ Itu dimeja, nenek sudah siapkan sarapan ketan dan goreng pisang kesukaanmu. Ibu tinggal dulu ya Rul, hati hati “ pesan ibunya lagi. “ Ya bu “ balas Sahrul sambil mencium tangan ibunya. Berangkat ke sekolah Sahrul tidak melupakan rancangan persiapan untuk kesebelasannya sebelum bertanding nanti. Tidak seperti teman-temannya yang lain, Sahrul lebih suka berjalan kaki kesekolah. Jarak sekolahnya sebenarnya tidak terlalu jauh tetapi harus memutar kalau melalui jalan raya. Sahrul lebih menikmati berjalan melalui pematang sawah, kalau pagi udara terasa sejuk sedangkan disiang hari tidak terlalu panas karena angin selalu bertiup semilir. Sahrul anak yang cerdas, umurnya belum genap sembilan tahun tetapi ia sangat suka membaca koran atau tabloid olah raga. Yang dibacanya artikel tentang sepak bola, karenanya sedikit banyak ia tahu bagaimana suatu tim olah raga harus dikelola dengan baik agar berhasil dan yang lebih penting harus ada yang mau menjadi pengurusnya. Setelah pulang sekolah Sahrul akan ke pasar membantu ibunya menggantikan Asep yang harus sekolah. Biasanya siang hari penjualan tidak lagi ramai, maka ia akan pergi keujung pasar, menemui Iwan temannya yang berjualan koran dan majalah didepan toko mas. Disana Sahrul bisa membaca sepuasnya dan tidak harus bayar. Iwan adalah teman diskusinya yang seru mengenai sepak bola. Mereka masing-masing punya tim dunia favorit. Sahrul sangat mengagumi tim liga Inggris Manchester United yang dijuluki Setan Merah itu. Sampai disekolah, lonceng tanda masuk belum lagi berbunyi. Sahrul mencari teman-teman satu tim-nya. Ia pergi ke kelas lima, biasanya mereka berkumpul disekitar kelas itu. Walaupun badannya kecil tetapi Sahrul sangat pandai bergaul, ia ramah dan disukai baik oleh teman maupun guru yang ada di sekolahnya. Karenanya ia tidak canggung bergabung dengan anggota tim yang rata-rata usianya dua atau tiga tahun lebih tua darinya. “ Heeii Rul “ terdengar suara Hasan memanggilnya. Benar saja mereka sudah berkumpul didepan kelas lima, ruang kelas Hasan. “ Hei “ balas Sahrul “ Kita harus benar-benar siap untuk pertandingan kali ini “ Bahri memulai pembicaraan. “ Setuju. Jangan sampai warga kecewa karena kita tidak bermain bagus “ timpal Said serius. “ Apa rencanamu, Rul? “ tanya Adil kali ini tanpa maksud meledek. “ Aku….. “ jawaban Sahrul terpotong oleh bunyi lonceng tanda pelajaran pagi ini akan dimulai. “ Sampai nanti istirahat ya “ Adil menyudahi percakapan sementara mereka beranjak masuk kekelas masing-masing. Pagi ini agak lain, pak Husin – kepala sekolah - masuk ke kelas lima, kelas enam dan kelas tiga dimana terdapat murid yang menjadi pemain kesebelasan, mengumumkan kabar yang membanggakan bahwa tim sepak bola SD Margasari - sekolah mereka, terpilih untuk bertanding melawan kecamatan lain minggu depan. Suara tepuk tangan bergemuruh di masing-masing kelas itu malah ada yang memukul-mukul bangku, sehingga wali kelas terpaksa menegurnya. Kemudian pak Husin juga minta ijin kepala guru kelas untuk mengajak keduabelas anak itu keruang kepala sekolah guna mendapat wejangan-wejangan lebh lanjut. “ Bagaimana rencana kalian? Apakah sudah mempersiapkan sesuatu? “ tanya bapak kepala sekolah itu. Kedua belas anak itu saling berpandang-pandangan. Kelihatan bingung, apa yang harus dikatakan pada pak Husin. Karena rencana meraka baru akan berkumpul siang ini di jam istirahat. “ Katakan saja, bapak akan dukung kalian “ sambung pak Husin dengan sabar. Kelihatannya belum ada yang siap untuk berbicara mengenai kesiapan tim untuk bertanding dua minggu kedepan. “ Begini, pak “ tiba tiba Sahrul bersuara. Semua menoleh pada Sahrul, anak paling kecil yang duduk paling pojok dekat meja kepala sekolah yang besar. “ Sahrul yang akan bicara? Bagus, ayo Rul apa pendapatmu “ pak Husin menyemangati. “ Ya pak. Menurut saya, yang pertama kita harus punya pelatih. Selama ini kita belajar sendiri, kadang-kadang dibantu sama pak Karim “ guru olah raga. “ Ya..ya, lalu? “ tanggap pak Husin. “ Selain itu kita kekurangan pemain cadangan, pak. Selama ini cadangannya hanya saya. Tapi kalau sehari-hari saya ikut main, jadi anak bawang “ ujar Sahrul lagi setengan bercanda. Mereka semua tertawa. Said yang tertawa paling keras, sambil mengatakan: “ Ya pak, Sahrul juga merangkap manajer kami “ Pak Kepala Sekolah mengangguk-anggukan kepalanya, sambil memperhatikan Sahrul. Kemudian dengan suara dalam dan sungguh-sungguh ia berkata: “ Bapak melihat walaupun paling muda tetapi Sahrul memang berbakat menjadi pengelola tim kalian. Bapak bangga padamu Rul, terus asah kemampuan dan pengetahuanmu “ “Jadi kalian setuju kalau Bapak angkat Sahrul jadi manajer kalian? “ sambung pak Husin lagi. “ Setuujuu, pak! “ seru kelompok itu serentak. “ Bagus. Kalau begitu kita harus mulai bekerja keras, pak Manajer. Kalau ada kesulitan atau keperluan apapun, silakan hubungi saya. Jangan sungkan, di rumahpun boleh saja “ ujar pak Husin tersenyum sambil menyalami Sahrul. Bel istirahat berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar kelas. Adil celingukan, menoleh kekanan-kekiri, mencari teman-teman satu tim-nya. “ Heii, Gun “ teriaknya memanggil Gun-gun yang sedang berjalan menuju koperasi sekolah. “ Hei Dil “jawab Gun-gun “ Mana anak-anak yang lain, ya? “ tanya Adil “ Aku juga tidak melihatnya. Makanya aku ke koperasi saja, aku mau beli buku tulis “ timpa Gun-gun “ Naah, itu mereka “ seru Adil lagi , ketika melihat gerombolan temannya datang dari arah kebun sekolah. Mereka saling berlarian mendekat. “ Kalian dari mana sih “ tanya Bahri pada Gun-gun dan Adil. “ Laah, kami cari-cari kalian “ jawab Adil ketus. “ Ah, ya, kami tadi keluar lewat pintu belakang kelas “ potong Sahrul menengahi. “ Yaa, kami mencari Sahrul yang baru selesai pelajaran berkebun “ sambung Said. “ Ya sudah kalau begitu “ Adil menyudahi. “ Aku mencari kalian mau membagikan ini, leupeut isi oncom buatan ibuku “ Adil berbicara lagi sambil membagi-bagian lontong pada teman-temannya. “ Waah, sering-sering aja Dil “ cetus Hasan kegirangan. Mereka tahu lontong masakan ibu Adil memang enak. Ibu Adil sering membawakan makanan masakannya untuk dibagikan Adil pada teman-temannya. “ Sekalian kita bicarakan rencana kita selanjutnya “ Adil memulai lagi. “ Aku punya rencana begini. Kita temui pak Karim untuk membantu menyiapkan pemain cadangan. Kalau sudah ada kita buat jadwal latihannya “ ia melanjutkan. “ Aku sih setuju saja “ kata Said dengan mulut penuh. “ Tetapi aku hanya khawatir dengan waktu latihan kita yang sempit “ sambungnya. “ Ya, bagaimana Rul “ ujar Bahri. “ Ya, kita harus hemat waktu. Waktu yang sedikit itu kita gunaan sebaik-baiknya. Kita harus bergerak cepat “ jawab Sahrul tangkas. “ Jadi kapan kita mulai “ Adil menimpali. “ Sore ini “ jawab Sahrul tegas. Teman-temannya saling berpandangan. Ada yang ragu. Ada yang bingung.Tetapi ketika melihat muka Sahrul yang tidak main-main. Akhirnya – dengan mulut sibuk mengunyah – mereka mengangguk-angguk mengiyakan. Ketika bel berbunyi, anak anak itupun membubarkan diri, sambil berjalan menuju ruang kelasnya, Sahrul berteriak pada teman-temannya: “ Jangan lupa, lepas Ashar kumpul dilapangan “ Pulang sekolah seperti biasa Sahrul kepasar untuk membantu ibunya. “ Asalamualaikum “ sapa Sahrul ketika bertemu ibunya “ Waalaikum salam. Rul, baru saja ibu mikir. Kok kamu gak datang-datang “ sambut ibunya. “ Ya, Bu. Sahrul tadi menemui pak Karim dulu “ jawab Sahrul. “ Guru olah ragamu itu “ tanya ibunya. “ Ya Bu “ “ Ini makan dulu, sudah telat kamu makan “ kata ibunya seraya meletakan sepiring nasi dan lauknya serta segelas air teh tawar. “ Sebetulnya ada keperluan apa kamu menemui pak Karim “ ibunya bertanya lagi sambil memperhatikan Sahrul yang makan lahap. “ Tim kami kan perlu pemain cadangan bu, untuk petandingan tingkat kecamatan nanti “ jawab Sahrul. “ Lalu … “ ibunya penasaran “ Ya sudah Sahrul sampaikan, tetapi pak kepala sekolah juga sudah menemui pak Karim untuk keperluan itu. Jadi pak Karim sudah menyiapkan rencananya “ “ Ooh, syukurlah “ kata ibunya lega. “ Tapi ada satu hal yang lebih penting yang masih belum kita punyai “ Sahrul bersuara lagi sambil terus mengunyah. “ Apa lagi Rul “ tanya ibunya penuh perhatian. “ Kami belum punya pelatih, bu “ kata Sahrul. “ Nah itu, pak Karim gimana “ ujar ibunya mengingatkan. “ Yaa ibu. Pak Karim memang guru olah raga, tapi dia bukan pemain sepak bola. Jadi kurang menguasai “ timpal Sahrul. “ Tapi katanya dia mantan jago bulu tangkis “ sambung ibunya lagi. “ Kita kan mau main bola, bukan badminton, bu “ jawab Sahrul seolah tak sabar. Ibunya tertawa terkekeh-kekeh melihat raut muka Sahrul. “ Kalau makan jangan sambil marah-marah, Rul “ kata ibunya. “ Abiis, ibu ..... “ rajuk Sahrul. Seolah teringat sesuatu, ibunya berkata lagi “ Eeh Rul, kamu ingat kang Ndang tidak “ tanya ibunya. “ Siapa bu “ tanya Sahrul. “ Dia itu dulu pemain bola, tetapi ibu dengar sudah behenti “ jelas ibunya. “ Pemain bola dimana bu “ tanya Sahrul. “ Pokoknya, kalau gak salah …. Apa pemain nasional ya..Gak taulah, pelatih .. apa gitu. Almarhum bapakmu yang kenal baik sih “ tutur ibunya tidak yakin. “ Oh yang itu. Tapi dia kan di kecamatan Ciherang. Mungkin dia jadi pelatih disana “ balas Sahrul sangsi. “ Tapi asalnya dari sini, orangtuanya juga disini. Istrinya orang sini. Masak bantu kecamatan lain “ ibu Sahrul ngotot. “ Ya udah deh bu. Sahrul pergi sebentar. Assalamualaikuuum “ kata Sahrul seraya bergegas meninggalkan lapak ibunya. “ Ruul..Ruul.. mau kemana kamu “ teriak ibunya. “ Ketempat Iwan bu......... “ seru Sahrul. “ Waalaikum salam...... “ balas bu Tilah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sahrul menemui Iwan tukang koran karibnya. Iwan punya banyak informasi mengenai pemain bola daerah dan bahkan propinsi. Dibanding dengan teman-temannya dalam tim yang lain – kecuali Adil – Iwan sangat mengikuti dunia persepak bolaan tanah air maupun dunia. “ Baru makan Wan “ sapa Sahrul sesampai di kios Iwan. “ Ya, Rul. Aku baru pulang. Kau sudah makan “ jawab Iwan sambil menawari temannya makan. “ Sudah ..sudah, baru saja “ kata Sahrul. Iwan sekolah di Madrasah setingkat dengan Sekolah Dasar. Umurnya dua tahun lebih tua dari Sahrul. Ia sudah kelas lima. Pagi hari ketika ia sekolah, kakak perempuannya yang sekolah di siang hari bergantian menjaga kios koran itu. “ Wan, ngomong-ngomong kamu kenal kang Ndang tidak. Katanya dulu pemain bola juga “ tanya Sahrul. “ Kang Ndang ........ “ Iwan mengerenyitkan alisnya berpikir. “ Dadang Rukmana, bukan. Dulu dia pemain liga “ Iwan berkata lagi. “ Aku kurang tahu nama lengkapnya. Kata ibuku dia jadi pelatih sekarang “ ujar Sahrul lagi. “ Yaa, anaknya pak Zaenal kan “ kata Iwan. “ Benar Wan, kamu kenal dia “ seru Sahrul penuh harap. “ Kenal benar sih tidak, Rul. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dia di rumah ayahnya ketika aku mengantar koran “ jelas Iwan. “ Bukan dia tinggal di kecamatan Ciherang “ tanya Sahrul. “ Ya memang, tapi aku dengar dia akan pindah kesini lagi “ jawab Iwan. “ Yang benar saja Wan “ cetus Sahrul penasaran. “ Laah, anak istrinya saja sudah tinggal di rumah mertuanya kok “ timpal Iwan. “ Kalau begitu, nanti malam pulang ngaji, kita mampir. Aku mau kenalan “ ajak Sahrul penuh percaya diri. “ Haah, apa Rul ... “ Iwan terkejut . Nasi berhamburan dari mulutnya. “ Sampai nanti ya… “ Sahrul berlari pergi sambil melambaikan tangannya. Sahrul girang bukan main dengan perkembangan yang didapatnya. Ia sangat berharap kesebelasan-nya bisa meraih kemenangan dan mempunyai permainan yang bermutu. Ia akan membagi informasi yang diperolehnya dengan teman-temannya nanti. Rasanya tidak sabar ia menunggu waktu untuk bertemu dengan Kang Ndang malam ini. “ Ibuu ...... “ Sahrul berteriak teriak “ Kamu ini kenapa, Rul “ ibunya menjawab agak kesal. “ Nanti malam Sahrul mau ketemu kang Ndang, dia ada dirumah bapaknya “ kata Sahrul lagi dengan nafas tersengal-sengal. “ Dia ada disini “ tanya ibunya tidak percaya, sambil menutup lapaknya. “ Katanya, dia mau kembali tinggal disini, bu.. “ jawab Sahrul dengan mata berbinar. Ibunya menatap Sahrul terharu, kemudian memeluknya erat dan berkata: “ Semoga kalian berhasil, ibu mendoakan “ seraya mengajak anaknya pulang. BERSAMBUNG

BADAK MERAH - Bagian Satu: Kesebelasan Juara

Hari Minggu yang cerah, cuaca hangat ketika matahari belum terlalu tinggi. Karena hari libur, walau masih pagi tetapi sudah banyak anak-anak bermain, berlarian kesana kemari. Segerombolan anak lainnya sedang berjalan menuju lapangan bola dekat persawahan. Seorang anak berlarian pontang panting mengejar gerombolan anak yang akan bermain bola itu. " Hei ..heeii.. tunggu....... " teriaknya berkali-kali dengan suara serak. Salah satu anak dalam gerombolan itu berkata " Seperti suara si Adil ya ... " Lalu mereka berhenti dan melihat kearah suara di belakang mereka. Benar saja itu si Adil. Perawakannya tidak terlalu tinggi tetapi tubuhnya padat dan kuat. Anak-anak itu tertawa-tawa melihat Adil berlari sambil memegangi perutnya yang kejang karena berlari tanpa henti. Setelah dekat, sambil ngos-ngosan ia berkata "Istirahat .... berhenti ....dulu.. " "Yaa...yaa tenang Dil, ada apaan sih? " tanya Bahri yang tubuhnya paling besar diantara mereka. Mereka duduk dipinggir sawah dibawah pohon petai cina yang rindang. Hampir disepanjang jalan desa ditepi persawahan berjejer pohon petai cina ditanam secara gotong royong oleh penduduk. Selain buahnya bisa dimakan, daunnya juga bisa untuk pakan ternak: kambing dan kerbau mereka, selain berfungsi untuk menngemburkan tanah sehingga tanaman menjadi subur. "Tadi malam ayahku baru pulang dari kabupaten, setelah rapat dengan bupati " Adil memulai penjelasannya setelah berhasil mengatur nafasnya. Ayah Adil adalah lurah di kampung Margasari itu. "Ya terus kenapa Dil " potong Said yang keturunan Arab tidak sabar. "Sabar dikit kenapa sih " balas Adil sengit. "Sudah.. sudah, ayo lanjutkan Dil " Bahri menengahi. "Gini, untuk memperingati hari jadi ibu kota kabupaten akan diadakan pertandingan sepak bola mulai tingkat kelurahan, kecamatan dan finalnya akan dilakukan di kabupaten……. " ujar Adil dengan bersemangat. "Lalu?? " tanya teman-temanya hampir serempak. "Kita kan juara antar kelurahan bulan lalu. Ayahku bilang, mungkin kita yang akan dikirim untuk tingkat kecamatan. Tetapi, belum tentu juga. Harus menunggu hasil keputusan rapat Lurah-lurah besok Senin " "Lho kenapa harus nunggu keputusan Lurah lain sih, kan jelas kita pemenangnya" Said berkata bersungut-sungut. "Kita memang pemenang, Said. Tetapi bukan dalam rangka hari jadi kabupaten, tapi tujuh belasan " Adil berusaha sabar menjelaskan. "Benar " Bahri yang kelihatannya paling disegani, ikut menimpali. "Mungkin kelurahan lain ingin mengambil kesempatan ini untuk membalas kekalahan mereka pada kita " tiba tiba Hasan yang sejak tadi diam, bersuara sambil matanya menerawang kearah hamparan persawahan. "Siapa takut .. " seru Adil dan Said. "Ayo, kalau begitu kita harus latihan terus agar kita siap bila sewaktu-waktu harus melawan mereka lagi " Bahri menyemangati. "Mana tangan kalian " Maka keduabelas anak laki-laki itu berdiri kemudian menumpangkan tangannya satu sama lain sambil meneriakkan : SEMANGAT! MENANG! Tapi kenapa jumlahnya duabelas, bukan sebelas seperti kelompok sepak bola biasanya? Begini. Sahrul anak yang paling kecil diantara mereka – ia memang masih kelas tiga sedangkan teman-temannya rata-rata kelas lima dan enam – adalah pemain cadangan. Walau kecil, ia sangat lincah. Tetapi teman-temannya sering memanggilnya manajer, karena anak itu selalu yang paling peduli mengurusi keperluan pemain apabila pertandingan tiba. Sampai tengah hari mereka asik berlatih sepak bola. Kemudian pulang untuk makan. Sore harinya mereka kembali kesawah, membawa kerbau-kerbau kesungai untuk dibersihkan kemudian mereka juga mandi, riuh rendah suara mereka berenang sambil bercanda. Sebelum magrib mereka pulang kerumah masing-masing seraya menggiring ternak: kerbau dan kambing yang sedari tadi asik merumput. Semalaman Adil sulit tidur, ia bergolek diatas ranjangnya tetapi matanya sulit terpejam. Ia ingin segera tahu bagaimana hasil rapat ayahnya dan lurah lain dikecamatannya. Adakah mereka harus bertanding lagi atau kesebelasannya yang akan maju menjadi wakil di kecamatan dua minggu lagi …… Esok paginya disekolah, teman-temannya dalam tim sepak bola ternyata juga merasakan hal yang sama dengannya, mereka harap-harap cemas menunggu keputusan yang akan disampaikan pak Lurah Sudirga nanti malam. Ketika waktu istirahat, mereka berkumpul. "Waduh, aku rasa kalau kita bisa langsung lawan kecamatan lain akan lebih seru, bapak mau ikut kekecamatan nonton kita main " kata Hasan yang sangat membanggakan ayahnya juragan pabrik kerupuk di kampung itu. "Benar, artinya cuma tinggal selangkah untuk bertanding di kabupaten" kata Adil yang kapten kesebelasan menimpali. "Tapi kalau sudah tingkat kecamatan lawan kita pasti lebih berat-berat. Aku dengar kiper kecamatan Sedana pernah main di tingkat Kotamadya " ujar Bahri. Posisinya memang sebagai kiper. "Yang penting kita berjuang mati-matian dan main bagus, selebihnya kita berdoa dan pasrah pada Allah SWT " sambung Gun Gun anak pak uztad Mansur. "Lalu, bagaimana dengan seragam kita? " Sahrul bersuara. Semua tertawa. Mereka tahu betul, Sahrul akan selalu memperhatikan hal-hal di luar teknis pertandingan. Suasana menjadi cair. "Menurut pak manajer, gimana? " Said balik bertanya geli. "Ya kalau kita tidak terpilih untuk lawan kecamatan ya memang gak perlu sih, tapi kalau ya masak pakai kaos sablonan mang Emen yang kita punya sekarang? "jelas Sahrul dengan lagak manajer betulan. "Bener…bener " Said berkata. " Kita mesti minta mang Emen pakai cat yang mutunya lebih baik " "Ya setuju, kaosku kena keringat aja luntur sablonannya. Waktu final kemarin nomor punggung delapan jadi nol " kata Anwar kesal. "Masih untung aku dong, saingan sama kiper. Nomer empat jadi nomor satu " sambung Adil terbahak-bahak. Mereka terus asik beradu cerita tentang kaos seragam yang luntur, sambil tergelak-gelak. Gerombolan anak-anak yang riang itu baru bubar ketika bel berbunyi, mereka masuk kelas lagi untuk belajar. Pak Lurah Sudirga mengundang beberapa pemuka kampung dan orangtua pemain kesebelasan Margasari ke pendopo Kelurahan malam ini guna membicarakan rencana pak Bupati untuk perayaan hari jadi kabupaten. Sebetulnya anak-anak tidak termasuk undangan, tetapi hampir semua anggota kesebelasan hadir mendampingi orangtua mereka. "Selamat malam Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, dan juga anak-anak anggota kesebelasan yang ikut hadir walau tidak diundang " pak Lurah membuka pertemuan sambil sedikit bercanda. Hadirin tertawa melihat anak-anak tersipu-sipu dengan sindiran pak Lurah tadi "Assalamualaikum warohmatullahiwabarokatuh....... " salam pak Lurah. "Waalaikum salaaaam warohmatullahiwabarokatuh... " warga membalas salam. "Begini para hadirin, saya baru saja kembali dari kabupaten. Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada warga sekalian. Bahwa dalam rangka merayakan hari jadi ibu kota kabupaten kita, tahun ini bapak Bupati mempunyai rencana yang berbeda tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk meningkatkan prestasi olah raga antar daerah dibawah kabupaten pimpinannya, beliau menetapkan akan diadakan pertandingan sepak bola kelompok umur delapan sampai dua belas tahun tahun memperebutkan Piala Bupati. Petandingan akan dilakukan berjenjang dari tingkat kelurahan, kecamaan dan finalnya nanti akan dilakuan di ibukota kabupaten. Pemenang tingkat kabupaten nantinya akan menjadi wakil untuk melawan kabupaten lain " pak Lurah berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan lagi. "Saya berpikir bahwa kita sudah punya kesebelasan sebagai juara yang baru menang bulan lalu di tingkat kelurahan, pada acara perayaan hari kemerdekaan. Tetapi kelurahan lain juga ingin punya kesempatan yang sama untuk maju ke kabupaten " Sementara pak Lurah berbicara, Bahri bepandang-pandangan dengan Adil. Mereka kelihatan sangat tidak sabar menunggu apa yang akan menjadi akhir dari pertemuan warga kali ini. " Karena itu siang tadi, kami para Lurah bermusyawarah untuk menetapkan apakah perlu dilakukan pertandingan lagi ataukah tidak. Mengingat kita hanya punya waktu sekitar sepuluh hari untuk memulai pertandingan di tingkat kecamatan " lanjut pak Lurah. Kemudian ia seperti terpekur, diam tidak berkata-kata dalam beberapa waktu. Para warga yang hadir saling berbisik satu sama lain, bertanya tanya apa yang terjadi pada pak Lurah mereka. Hasan menarik-narik lengan ayahnya, "Pak, kenapa pak Lurah, Pak? " tanyanya cemas. "Ssst, diamlah. Beliau sedang mencari kata-kata. Karena tidak ingin kita kecewa " pak Karta menjawab. "Hehhhh " Hasan menghembuskan nafasnya sambil melemparkan punggungnya kesandaran kursi, lemas. Dibagian lain, Bu Tilah ibu Sahrul dengan sabar mengelus-elus punggung anaknya sambil tersenyum memandangi wajah anak tunggalnya. "Bertanding lagi juga gak apa-apa kan, Rul? Olah raga itu sehat " bujuknya melihat wajah Sahrul yang cemberut. "Sehat sih sehat, Bu. Waktunya kan tinggal sepuluh hari, kita belum punya strategi " jawabnya serius. Bu Tilah tersenyum-senyum saja melihatnya. Sementara Adil merasa gemas dan khawatir melihat pak Lurah. Apa gerangan yang sedang dipikirkan ayahnya? Apakah ia tidak berhasil mempertahankan pendapatnya agar kelurahan Margasari yang menjadi wakil, kemudian ia malu mempertanggung jawabkannya kepada para warga? Sedangkan Abah Jamaludin, pria tinggi besar keturunan Arab yang tidak lain ayah si Said menggeleng-gelengkan kepalanya. Berkali-kali ia menghela nafas, sambil mengucap: "Astagfirullah ... kenapa pak Lurah? " Tiba-tiba pak Lurah mengangkat kepalanya lagi, dengan wajah yang sungguh-sungguh ia mengatakan "Bapak dan Ibu serta anak-anak yang saya cintai dengan sangat..sangat menyesal saya harus menyampaikan bahwa hasil rapat Lurah siang ini memutuskan bahwa .......... Pak Lurah menyapu ruangan pendopo dengan pandangannya, memperhatikan wajah-wajah tegang dari hadirin yang menunggu keputusan akan kelanjutan perjuangan kesebelasan kebanggaan kampung mereka. Suara pak Lurah terdengar kembali, "Hasil rapat memutuskan bahwa .... kesebelasan Margasari berhak menjadi wakil di tingkat kecamatan dua minggu lagi ! " seru pak Lurah setengah berteriak. Horeeee......horeeee.... Hadirin bersorak sorai. "Alhamdulillahirobbilalamiiiin " suara abah Jamal sambil mengusap mukanya dengan kedua tangannya. Kemudian mengusap-usap rambut keriting anaknya, Said. Pak Karta memeluk Hasan erat-erat, dengan wajah bangga dan bahagia ia berkata "Nanti Bapak antar sendiri kalian di kecamatan manapun " "Bener ya Pak " balas Hasan menyeringai senang. Anak-anak tim kesebelasan Margasari saling bersalam salaman. Wajah mereka sangat ceria. Sangat senang rasanya ketika pak Husni - kepala sekolah - memeluk mereka satu persatu. Sebelum menutup pertemuan, pak Lurah menjadwalkan untuk bermusyawarah kembali dalam rangka pembentukan panitia. Akhirnya warga meninggalkan pendopo dengan gembira. Sesaat ketika akan pulang, Abah Jamaludin menghampiri pak Lurah, menyalaminya sambil berkata "Pak Lurah, pinter sekali bikin jantung saya mau copot......" "Waah, pak Jamal, jangan dululah. Kita masih perlu sumbangannya ........" jawab pak Lurah, diiringi derai tawa keduanya. Malam itu Adil tidur sangat nyenyak, seakan membalas kekurangan jam tidurnya malam sebelumnya. Harapannya untuk bertanding di tingkat kecamatan akan tercapai, tinggal kesebelasannya harus berlatih lebih giat lagi agar bisa terus melaju ke tingkat selanjutnya. Dalam tidurnya Adil bermimpi kesebelasan yang dikapteninya akhirnya berlaga di hadapan bapak Bupati dengan jumlah penonton ribuan orang. Di kamar lain, dirumah yang lain, Sahrul masih asik kutak-kutik dengan pensil dan buku kecil. Mencorat-coret, menggambar dan menulis sesuatu. Ibunya yang memperhatikan dari tadi menegurnya, "Rul, sudah malam. Lihat jam berapa ini, hampir jam sebelas malam. Nanti kamu bangun kesiangan, bisa terlambat kesekolah " "Ya Bu, sebentar lagi " jawab Sahrul "Kamu sedang bikin apa sih, apa gak bisa besok saja? " lanjut ibunya "Ini penting, Bu. Sahrul harus merencanakan persiapan latihan dan kebutuhan perlengkapan para pemain, seperti kaos seragam " "Jadi ceritanya, kau juga merancang gambar untuk seragam kalian nanti? " tanya ibunya. "Begitulah, Bu " Sahrul tersenyum. Bu Tilah mencibir sambil tersenyum mengelus rambut anaknya ……. BERSAMBUNG